Seorang seniman mendapat penghargaan. Tetapi tidak seperti di
masa-masa yang lalu, hanya berupa piagam dan uang seupil. Ia ditimpa
doku yang lebih besar dari yang diterima Susy Susanti ketika menggondol
emas untuk bulutangkis di Olimpiade Dunia. Lima milyar.
Rakyat terpesona. Tak menyangka seni bisa menelorkan rizki sehebat itu. Sudah cukup bukti dunia seni kering, banyak seniman mati sebagai kere. Menjadi seniman sudah dicap semacam kenekatan. Lebih dari 90 persen lamaran seniman ditolak oleh calon-mertuanya, kecuali ada komitmen mau banting stir cari pekerjaan lain yang lebih produktif.
Masyarakat seniman berguncang. Angin segar itu membuat profesi seniman naik daun. Tapi berbareng dengan itu hadir pula dengki. Mengapa baru sekarang terjadi? Dan mengapa jatuhnya kepada Dadu, yang langganan ngutang di warung tapi ogah bayar itu?”
“Apa tidak ada pilihan yang lebih baik? Masak pemalas begitu dikasi hadiah. Ntar juga habis dipakai minum dan nyabo. Itu kan tidak mendidik. Cari dong kandidat yang lebih layak. Masak di antara 220 juta jiwa ini tidak ada yang lebih keren?”
“Jurinya ada main!”
Dadu tidak peduli. Dengan tenang-tenang saja, ia menyiapkan penampilannya yang layak pada malam penerimaan hadiah. Ia ngutang beli jas dan dasi. Langsung itu jadi bahan omongan.
“Sialan, dulu ngaku alergi sama hadiah dari pemerintah. Sekarang baru diuncal duit gede ngibrit tak peduli nasib rakyat! Dasar penjilat! Pengkhianat! Mata duitan!”
Dadu sama sekali tidak goyah oleh sindiran itu.. Ia malah menganggapnya sebagai publikasi gratis. Hadiah itu diterimanya dengan senyum lebar. Wajahnya terpampang di halaman depan koran. Kelihatan bangga dan yakin pantas menerima kehormatan. Suara-suara penentangnya menjadi bertambah lantang.
“Kita sudah dibeli semua! Tidak ada lagi yang punya harga diri! Banci!”
Di situ Dadu baru naik darah.
“Bangsat!” teriaknya mencak-mencak. “Sejak kapan mereka berhak mengkomando siapa aku ah? Sejak kapan aku harus jadi budak dan menyerah dicocok-hidung oleh setan-setan yang mau menjadikan aku pahlawan itu! Aku ini si Dadu, anak miskin yang tidak mampu beli celana dalam. Makan juga nembak melulu! Aku bukan pahlawan kemiskinan yang menentang kemapanan. Aku bukan tentara bayaran yang mau bertempur untuk memuaskan mereka yang mau mengadu aku dengan pemerintah! Aku milik diriku yang yang akan aku pertahankan sampai titik darah penghabisan. Aku tidak akan terpancing oleh segala hasutan, provokasi, gerpol dan teror itu. Aku lakukan apa yang aku yakin baik aku lakukan. Persetan sama kalian semua! Jangan ganggu kemerdekaanku anjing! Kalian binatang semua!”
Nyamuk pers senang sekali Dadu kalap. Mereka segera merubung untuk memancing Dadu mengumpat lebih liar. Kalau ada yang berkelahi berita akan laku keras. Untung pacar Dadu mengingatkan.
“Sabar Bang. Hadiah baru diterima, darah abang jangan naik. Kalau struk atau kena serangan jantung, lima milyar tidak ada gunanya.”
Dadu tertegun.
“Tapi aku marah. Kenapa aku dipancing jadi pahlawan. Kenapa bukan mereka saja yang menjadikan dirinya pahlawan. Aku berhak menikmati hadiah ini.”
“Memang.”
“Coba dia yang jadi aku. Tidak usah lima milyar, lima juta juga sudah akan menyembah!”
“Tidak usah ngomong begitu!”
“Kenapa?”
“Sebab itu yang memang mereka mau!”
“Jadi mereka senang kalau aku marah?”
“Persis!”
“Kalau begitu biar aku marah saja terus supaya mereka puas dan berhenti mengganggu kita!”
“Tak mungkin!”
“Mengapa tidak?”
“Sebab mereka menginginkan kamu menjadi seorang pahlawan!:
Dadu tercengang.
“Itu dia yang aku tentang!”
“Jangan. Itu jangan ditentang. Jadilah seorang pahlawan!”
“Aku tidak sudi!”
“Dengerin dulu! Mau denger tidak?!!”
Suara pacar Dadu mulai keras sehingga Dadu terpaksa diam. Tapi dia masih menggumam.
“Aku tidak mau jadi pahlawan kesiangan!”
“Tidak usah. Tapi jadilah pahlawan, dengan cara kamu!”
“Maksudmu?”
“Jadilah pahlawan tetapi tidak dengar cara seperti yang mereka mau. Jadilah pahlawan menurut cara kamu sendiri!”
“Memang itu yang aku lakukan!”
‘Tidak! Dengan marah kamu masih menjadi pahlawan dengan cara yang mereka mau!”
Dadu menyimak.
“Maksudmu bagaimana?”
“Terima penghargaan itu, karena itu sebuah pengakuan yang terhormat, tetapi kembalikan hadiahnya, karena lima milyar itu sudah membuat banyak orang merasa dirinya begitu miskin, sehingga mereka mengaum meminta kamu menolaknya!”
Dadu terdiam.
“Bagaimana?”
Dadu memejamkan matanya.
“Bagaimana?”
Dadu membuka mata dan menatap pacarnya sambil berkata lirih dan tenang.
“Ternyata kita berbeda.”
“Berbeda?”
“Ya. Aku mengingin penghargaan itu karena mereka sudah memberikannya. Dan aku juga menginginkan duit 5 milyar itu sebab aku memang berhak mendapatkannya! Aku sama sekali tidak tertarik menjadi pahlawan, sebab aku manusia biasa! Aku tetap akan menerima sebab aku berhak menjadi diriku!”
Mereka berpandangan. Tiba-tiba pacar Dadu memeluk erat sambil berbisik.
“Kamu benar-benar seorang pahlawan!”
Rakyat terpesona. Tak menyangka seni bisa menelorkan rizki sehebat itu. Sudah cukup bukti dunia seni kering, banyak seniman mati sebagai kere. Menjadi seniman sudah dicap semacam kenekatan. Lebih dari 90 persen lamaran seniman ditolak oleh calon-mertuanya, kecuali ada komitmen mau banting stir cari pekerjaan lain yang lebih produktif.
Masyarakat seniman berguncang. Angin segar itu membuat profesi seniman naik daun. Tapi berbareng dengan itu hadir pula dengki. Mengapa baru sekarang terjadi? Dan mengapa jatuhnya kepada Dadu, yang langganan ngutang di warung tapi ogah bayar itu?”
“Apa tidak ada pilihan yang lebih baik? Masak pemalas begitu dikasi hadiah. Ntar juga habis dipakai minum dan nyabo. Itu kan tidak mendidik. Cari dong kandidat yang lebih layak. Masak di antara 220 juta jiwa ini tidak ada yang lebih keren?”
“Jurinya ada main!”
Dadu tidak peduli. Dengan tenang-tenang saja, ia menyiapkan penampilannya yang layak pada malam penerimaan hadiah. Ia ngutang beli jas dan dasi. Langsung itu jadi bahan omongan.
“Sialan, dulu ngaku alergi sama hadiah dari pemerintah. Sekarang baru diuncal duit gede ngibrit tak peduli nasib rakyat! Dasar penjilat! Pengkhianat! Mata duitan!”
Dadu sama sekali tidak goyah oleh sindiran itu.. Ia malah menganggapnya sebagai publikasi gratis. Hadiah itu diterimanya dengan senyum lebar. Wajahnya terpampang di halaman depan koran. Kelihatan bangga dan yakin pantas menerima kehormatan. Suara-suara penentangnya menjadi bertambah lantang.
“Kita sudah dibeli semua! Tidak ada lagi yang punya harga diri! Banci!”
Di situ Dadu baru naik darah.
“Bangsat!” teriaknya mencak-mencak. “Sejak kapan mereka berhak mengkomando siapa aku ah? Sejak kapan aku harus jadi budak dan menyerah dicocok-hidung oleh setan-setan yang mau menjadikan aku pahlawan itu! Aku ini si Dadu, anak miskin yang tidak mampu beli celana dalam. Makan juga nembak melulu! Aku bukan pahlawan kemiskinan yang menentang kemapanan. Aku bukan tentara bayaran yang mau bertempur untuk memuaskan mereka yang mau mengadu aku dengan pemerintah! Aku milik diriku yang yang akan aku pertahankan sampai titik darah penghabisan. Aku tidak akan terpancing oleh segala hasutan, provokasi, gerpol dan teror itu. Aku lakukan apa yang aku yakin baik aku lakukan. Persetan sama kalian semua! Jangan ganggu kemerdekaanku anjing! Kalian binatang semua!”
Nyamuk pers senang sekali Dadu kalap. Mereka segera merubung untuk memancing Dadu mengumpat lebih liar. Kalau ada yang berkelahi berita akan laku keras. Untung pacar Dadu mengingatkan.
“Sabar Bang. Hadiah baru diterima, darah abang jangan naik. Kalau struk atau kena serangan jantung, lima milyar tidak ada gunanya.”
Dadu tertegun.
“Tapi aku marah. Kenapa aku dipancing jadi pahlawan. Kenapa bukan mereka saja yang menjadikan dirinya pahlawan. Aku berhak menikmati hadiah ini.”
“Memang.”
“Coba dia yang jadi aku. Tidak usah lima milyar, lima juta juga sudah akan menyembah!”
“Tidak usah ngomong begitu!”
“Kenapa?”
“Sebab itu yang memang mereka mau!”
“Jadi mereka senang kalau aku marah?”
“Persis!”
“Kalau begitu biar aku marah saja terus supaya mereka puas dan berhenti mengganggu kita!”
“Tak mungkin!”
“Mengapa tidak?”
“Sebab mereka menginginkan kamu menjadi seorang pahlawan!:
Dadu tercengang.
“Itu dia yang aku tentang!”
“Jangan. Itu jangan ditentang. Jadilah seorang pahlawan!”
“Aku tidak sudi!”
“Dengerin dulu! Mau denger tidak?!!”
Suara pacar Dadu mulai keras sehingga Dadu terpaksa diam. Tapi dia masih menggumam.
“Aku tidak mau jadi pahlawan kesiangan!”
“Tidak usah. Tapi jadilah pahlawan, dengan cara kamu!”
“Maksudmu?”
“Jadilah pahlawan tetapi tidak dengar cara seperti yang mereka mau. Jadilah pahlawan menurut cara kamu sendiri!”
“Memang itu yang aku lakukan!”
‘Tidak! Dengan marah kamu masih menjadi pahlawan dengan cara yang mereka mau!”
Dadu menyimak.
“Maksudmu bagaimana?”
“Terima penghargaan itu, karena itu sebuah pengakuan yang terhormat, tetapi kembalikan hadiahnya, karena lima milyar itu sudah membuat banyak orang merasa dirinya begitu miskin, sehingga mereka mengaum meminta kamu menolaknya!”
Dadu terdiam.
“Bagaimana?”
Dadu memejamkan matanya.
“Bagaimana?”
Dadu membuka mata dan menatap pacarnya sambil berkata lirih dan tenang.
“Ternyata kita berbeda.”
“Berbeda?”
“Ya. Aku mengingin penghargaan itu karena mereka sudah memberikannya. Dan aku juga menginginkan duit 5 milyar itu sebab aku memang berhak mendapatkannya! Aku sama sekali tidak tertarik menjadi pahlawan, sebab aku manusia biasa! Aku tetap akan menerima sebab aku berhak menjadi diriku!”
Mereka berpandangan. Tiba-tiba pacar Dadu memeluk erat sambil berbisik.
“Kamu benar-benar seorang pahlawan!”
1 komentar:
my blog cerpen follow taaddin.blogspot.com
Posting Komentar
My blog is dofollow...
pengunjung yang baik adalah pengunjung yang selalu memberi apresiasi dengan meninggalkan pesan komentar...