Orde Baru
dikibarkan menggantikan Orde Lama sebagai sebuah pesta kemenangan. Para
teknokrat bergabung membenah Indonesia yang dinilai sangat rawan
kesejahteraan rakyatnya. Maka agenda pun dipalingkan ke perkembangan
ekonomi.
Orde Baru
mulai membentuk kelas menengah untuk membuat perubahan. Generasi muda
didorong bangkit membangun masa depan dengan cara menjadi interprener.
Rakyat diajak memusatkan perhatian pada kesibukan mengisi kemerdekaan.
Mereka dibimbing menghadapi kenyataan dan mencintai uang.
Kelas menengah yang kemudian lahir, ternyata bukan memelopori
penalaran, mereka malah sibuk mengukuhkan status kemapanannya. Rakyat
memang menjadi sadar pada kemiskinannya lalu menjadi lapar pada
kesuksesan tapi dalam bentuk materi. Orang mulai terbiasa memburu uang
dengan menempuh segala macam cara. Kemajuan-kemajuan phisik tidak
diimbangi oleh kesiapan batin.
Kesenian yang merupakan salah satu kanal yang bisa mengantarkan
manusia ke arah perkembangan batin, amat terpojok. Tempatnya di luar
pembangunan, bahkan nampak mengganggu. Karena dianggap tak berguna,
kesenian tidak lagi dianggap sebagai aset bangsa, bahkan dinilai sebagai
pemborosan. Digeletakkan begitu saja di sudut kecil sebagai pajangan
parawisata.
Dan sastra hampir menjadi sampah yang hanya dilindungi oleh belas kasihan. Fungsinya sebagai
pendidikan moral untuk menyempurnakan perkembangan batin manusia, menjadi hanya kelanggenan. Sastra berubah menjadi hiburan ringan.
Sastra mengkerut menjadi hanya budaya pop. Hiburan sesaat mengikuti
kesemarakkan pasar. Hal ini ditopang lagi oleh budaya hidup enak yang
dikampanyekan oleh majalah-majalah wanita yang gemerlapan dan menjual
gaya hidup wah. Untuk bertahan sastra pun ikut menjadi alat propaganda
hidup pop. Maka perlahan-lahan bangkrutlah sastra Indonesia.
Perjalanan kemanusiaan yang bisa ditempuh antara lain lewat sastra,
sebagaimana yang pernah dicanangkan oleh kelompok Manikebu misalnya,
kembali gagal. Kemanusiaan sendiri mendapatkan rangking nol di dalam
kehidupan. Yang menjadi utama pada era tersebut adalah politik, ekonomi
dan teknologi. Tapi itu pun politik kelas yang berkuasa, ekonomi kelas
konglomerat dan teknologi mercu suar.
Reformasi mendadak memberikan kesempatan.
Reformasi semacam peluang untuk mereposisi sastra, di dalam
kehidupan. Dapat diharapkan bahwa posisi sastra akan kembali. Segala
keluhan di masa lalu, mendadak tidak lagi menjadi hambatan. Para penulis
bisa leluasa untuk memilih tema dan mengekspresikan pendapatnya
terhadap segala macam soal. Sensor yang dianggap sebagai biang kerok
kebangkrutan sastra sudah lumpuh. Sastrawan memiliki kemungkinan.
Kita sedang memasuki proses pembebasan sekarang. Membuka pintu dan
memulai kerja besar. Tapi benarkah sastra melangkah laju ke depan bila
tanpa hambatan, tanpa ditolong oleh siapa-siapa. Beranikah, mampukah,
dan berhasilkah sastra membuktikan keberadaannya yang istimewa penting
di dalam kehidupan yang lebih bebas?
Di masa lalu, bukan hanya sastra, hampir seluruh sektor kesenian ikut
mengeluh terhadap berbagai keterbatasan. Sensor yang garang dan
sewenang-wenang merupakan alasan yang empuk untuk membenarkan bahwa
layaklah tidak ada hasil besar yang lahir. Padahal pada zamannya, bukan
sedikit hambatan yang dihadapi oleh Pramudya Ananta Toer, toh dia
berhasil mencetak hasil-hasil monumental. Bahkan pada zaman
kensengsaraan Manikebu, tidak sedikit halangan terhadap para Manikebuis
karena mereka dilarang berkarya, toh lahir penyair-penyair besar seperti
Goenawan Mohamad, misalnya. Sedangkan di era Orde Baru yang dianggap
sebagai neraka bagi kebebasan berekspresi, tetap saja melambung
karya-karya Rendra, Sutardji, Danarto, Budidharma dan sebagainya,
seperti tak tersentuh oleh berbagai hambatan.
Kini, ketika pintu kebebasan sudah dibuka, akan lahirkah sastrawan
besar dan karya besar yang lain? Harusnya lahir. Tanpa itu bagaimana
mungkin sastra dapat mereposisi dirinya? Tetapi sayang, sudah setahun
reformasi bergulir, yang lahir baru novel “Saman” dari tangan Ayu Utami,
pengarang wanita yang dipujikan oleh para pengamat sebagai jenius yang
membawa cakrawala baru bagi sastra Indonesia. “Malu Aku Jadi Orang
Indonesia”, kumpulan sajak Taufiq Ismail. Novel dari Danarto, Remy Sylado, Titis Basino serta Dono Warkop. Ke mana para pengarang yang lain?
Sedang giat menulis atau ikut kampanye? (Apa karena krismon yang
membuat harga kertas membumbung tinggi penerbitan jadi seret? Karena
prioritas dikerahkan kepada pada pemulihan ekonomi dan kestabilan
politik?) Atau karena tidak terbiasa oleh kebebasan? Apakah kebebasan
justru membuat sastra jadi tak berdaya?
Di masa lalu, ketidakbebasan justru menstimulasi sastra menjadi lebih
tajam dan produktif. Sementara kebebasan seringkali berakhir dengan
kebingungan apabila memang jiwa sastrawannya memang tak bebas. Setelah
tuntutannya tentang kebebasan terpenuhi, ia tidak tahu mau mengisi
dengan apa?
Mungkin sekali bahwa kebebasan formal tidak hanya memberikan peluang,
tetapi juga dapat membunuh. Karena dalam ketidakbebasan yang macam mana
pun, selalu ada peluang bagi kreativitas untuk berkelit dan mengucur.
Sehingga sastra tidak pernah tidak ada, kalau memang dia ada. Sebaliknya
kalau memang tak ada, dibebaskan dengan cara bablas-bablasan pun dia
tetap tak akan hadir.
Atau: menjadi bertambah jelas bahwa kebebasan bukan satu-satunya yang
diperlukan sastra. Jauh lebih penting dari kebebasan adalah visi.
Sastra harus menghidupkan visi. Para sastrawan adalah visoner-visioner
yang akan membuat karya sastra menjadi input-input berharga bagi
kehidupan dalam aspek masing-masing. Sehingga sastra tidak hanya
berhenti sebagai sastra. Tetapi berawal dari sastra dan kemudian
berserak ke seluruh sektor kehidupan. Dengan begitu sastra baru akan
memiliki wibawa yang setara dengan pengetahuan. Karena ia memiliki akses
ke segala arah. Sementara keindahan bahasa adalah bonusnya.
Era reformasi bagi sastra dalam pengamatan saya, bukan berarti
“Pembebasan”, yang berarti: bahwa kini adalah saatnya sastra dapat
berbuat apa saja. Bahwa kini adalah saatnya sastra dapat menuliskan apa
saja. Tidak. Karena sastra selalu komplit. Sastra selalu mendua. Sejak
adanya, sastra mengandung kebebasan dan ketidakbebasan. Kenapa? Sastra
yang berpihak memang tidak pernah bebas. Dan sastra yang bebas, tidak
pernah bisa ditahan oleh apa pun, karena dia memiliki kreativitas untuk
mengelak. Keduanya bangga atas keadaannya. Dan suka tidak suka, ternyata
saling melengkapi.
Sastra reformasi menurut hemat saya, bukan: “pesta kebebasan dan
selamat tinggal ketidakbebasan”, tetapi masalah kesempatan dan agenda.
Masalah prioritas apa yang seyogyanya harus dilakukan oleh sastra, baik
sastra yang berpihak maupun sastra yang bebas, pada saat ini. Saat
ketika Orde Baru yang berkuasa selama 32 tahun dicoba diganti dengan
tatanan baru yang kita sendiri juga belum tahu seperti apa jadinya
nanti, adalah kesempatan untuk mengembalikan sastra sebagai sembako
jiwa.
Dalam bayangan saya, sastra reformasi adalah sastra yang menyadari
benar artinya sebagai sembako batin. Namun dia juga mengerti di mana
posisinya kini. Idealismenya mengandung strategi. Sastra mesti melakukan
tindakan-tindakan yang tepat. Kalau tidak, tujuannya akan terganggu
atau terjegal lagi, bukan karena tidak diterima oleh masyarakat, tetapi
karena tidak dewasa menyikapi situasi.
Sastra adalah jembatan untuk masuk ke hati manusia di segala sektor
kehidupan. Karenanya sastra tidak mungkin tidak, tetap akan menghadapi
berbagai halangan. Kesulitan-kesulitan di masa lalu, bukan tidak akan
mungkin akan terulang lagi. Kekurangan penerbit, jalinan distribusi tak
lancar, aturan main yang tidak mendukung bahkan juga sensor dan
sebagainya yang dulu dikeluhkan mungkin masih akan dihadapai lagi. Dan
menjadi bertambah berat, karena itu terjadi dalam era reformasi.
Kesempatan sastra di dalam era reformasi adalah ikut campur dalam
berbagai aspek kehidupan secara aktif. Membuktikan dirinya bukan hanya
semata-mata hiburan. Bukan sekedar “sastra”. Untuk itu sastrawan sendiri
harus berkemas, membenah diri, dan belajar. Karena penampilan yang
rusak, citra yang kalangkabut, wawasan dan gagasan yang mgawur dan
mabok, justru akan dengan cepat membalikkan kesempatan itu menjadi bukti
bahwa sastra memang harus dikubur karena memang benar sampah.
Apa yang harus dilakukan oleh sastra? Banyak sekali. Dia harus
menunjukkan kwalitas dan sekaligus kwantitasnya. Dia tidak boleh
enak-enakan menuntut apalagi mengemis pengakuan. Sastra harus berjuang
untuk merebut pengakuan, seperti partai-partai merebut kursi dalam
pemilu. Kalau tak berhasil, jangan lagi menuding rakyat tak punya
apresiasi, tetapi mungkin perjuangannya masih belum cukup teruji. Karena
itu sastra perlu bisa membuktikan dirinya berkaliber, sehingga mau tak
mau pantas diakui.
Sastra akan dituntut untuk lentur, lihai, cerdas dan barangkali juga
harus bijaksana. Sastra harus mampu membangun imij bahwa ia adalah
pekerja pendidikan jiwa yang setara dengan pekerja-pekerja kehidupan
lain seperti sejarah, politik dan ekonomi atau teknologi, misalnya.
Dalam sastra orang mendapatkan kearifan dan memperkaya
pengalaman-pengalaman batinnya.
Sastra dituntut oleh keadaaan untuk bisa menunjukkan, tanpa sastra
kehidupan akan berjalan timpang. Dan itu tidak cukup dengan sebuah
slogan tetapi kerja nyata sehingga ada bukti. Dengan karya-karya yang
berkesinambungan. Dengan usaha-usaha. Dengan percobaan-percobaan dan
barangkali juga dengan berbagai penderitaan, frustasi,
kegagalan-kegagalan. Walhasil kembali lagi: tekanan.
Sastra harus membebaskan dirinya dari menempatkan kesulitan-kesulitan
sebagai pembenaran kemacatan sastra. Ancaman dan tekanan adalah sesuatu
yang sudah terbiasa pada sastra. Sering itu menjadi kekuatan sastra
sendiri. Kalau tidak berani menghadapi kesulitan, barangkali memang
tidak perlu menjadi sastrawan.
Siapkah sastrawan Indonesia menerima sastra sebagai pekerjaan?
Menumbuhkan ethos kerja yang lebih kerangsukan? Pertanyaan-pertanyaan
itu pasti akan disusul dengan pertanyaan: siapkan pemerintah dan
masyarakat menerima sastra sebagai sembako? Dan selanjutnya akan
melahirkan pertanyaan: siapkah sastra menjadi sembako? Akhirnya akan
kembali sebagai pertanyaan: siapkah satrawan menjadikan sastra itu
sebagai sembako?
Era reformasi, nampaknya tidak akan menjamin kehidupan sastra
Indonesia lebih baik, kalau sastrawannya sendiri tidak bangkit.
Sastrawan sendiri harus mereformasi posisi dan perilakunya sebagai
sastrawan. Tidak cukup dengan cara menuding, mengelak, memasang label
reformasi di kepalanya atau bersilat argumentasi, tetapi dengan
karya-karya. Dan itu mutlak memerlukan kerja.
(putu wijaya)