17 Agu 2011

Peranan sastra


Dengan pembatasan yang ugal-ugalan — “sastra adalah semua bentuk ekspresi dengan bahasa sebagai basisnya” — wilayah sastra jadi merebak, merengkuh daerah yang sangat luas. Ke dalamnya sudah tercakup sastra lisan maupun tulisan.
Prosa, puisi, lakon, skenario, skripsi, risalah ilmiah, esei, kolom, berita, surat, proposal, catatan harian, laporan, pandangan mata, pidato, ceramah, transkripsi percakapan, wawancara, iklam, propaganda, doa dan sebagainya semuanya jadi termasuk sastra, karena mempergunakan bahasa.
Semua sektor kehidupan, seluruh aktivitas manusia tak bisa membebaskan diri dari bahasa. Bahkan olahraga yang jelas-jelas menitikberatkan pada aktivitas raga, tetap saja membutuhkan bahasa dalam menumbuhkan dan mengembangkan dirinya. Dengan cakupan yang begitu dahsyat, sastra tidak mungkin tidak berguna. Demikianlah mahasiswa yang sedang menekuni berbagai jurusan, akan selalu, suka tak suka berhubungan dengan sastra.
Bagaimana dengan puisi dan prosa yang merupakan bagian dari kesusastraan (baca: sastra yang indah). Apakah puisi dan prosa juga berguna bagi semua mahasiswa, sehingga bukan saja jurusan bahasa dan sastra tapi juga jurusan sosial, ekonomi dan eksakta berkepentingan mengkaji sastra? Apa seorang yang ingin menjadi insinyur, dokter, diplomat, pengusaha, perwira, pemimpin politik, ahli hukum, negarawan dan ulama, perlu membaca sastra?
Di tahun 60-an, pelajaran kesusastraan masih diajarkan di SMA di semua bagian A,B dan C (budaya, eksakta dan ekonomi). Tetapi posisinya memang hanya sebagai pendukung pelajaran Bahasa Indonesia. Tak jarang jam pelajaran kesusastraan dikanibal oleh pelajaran bahasa.
Hal tersebut dimungkinkan, karena pelajaran kesusastraan tak lebih dari hapalan bentuk-bentuk kesusastraan, riwayat hidup pengarang, judul karya dan sinopsis buku-buku wajib baca. Tak pernah ditelusuri secara mendalam (gurunya tak ada yang terdidik ke arah itu) hakekat kesusastraan itu kaitannya dengan berbagai pemikiran yang ada dalam kehidupan. Jadinya pelajaran kesusastraan – lebih popular disebut pelajaran sastra saja – hanya jadi pelajaran tak berguna. Dihapus juga tidak ada akibatnya.
Kesusastraan (prosa dan puisi) sesungguhnya terkait dengan seluruh aspek kehidupan. Hanya saja karena pemaparannya menempuh lajur rekaan imajinasi, sehingga nampak semu. Tapi dalam kesemuannya itu, sastra merefleksikan fenomena hidup beragam dengan mendalam, mengikuti cipta-rasa-karsa penulisnya.
Untuk itu memang diperlukan kesiapan: apresiasi, interpretasi dan analisis, sehingga dunia rekaan di dalam sastra jelas kaitannya dengan seluruh aspek kehidupan. Kritik sebagai perangkat penting yang sesungguhnya berfungsi menunjukkan arti kehadiran sastra, kebetulan sangat parah di Indonesia, sehingga kehadiran sastra semakin tenggelam hanya sebagai hiburan.
Sastra memang memiliki potensi yang hebat untuk menghibur. Dan karenanya sebagai barang komoditi nilainya tinggi. Kaitannya dengan bisnis dan industri juga meyakinkan. Sebuah karya sastra dapat meledak, mengalami ulang cetak setiap tahun dengan oplag raksasa dalam berbagai bahasa.
Namun sastra tidak semata-mata kelangenan, tetapi juga dokumen perjalanan pemikiran yang menjadi bagian dari perjalanan sejarah. Uncle Toms’s Cabin karya Beecher Stowe yang melukiskan derita dan nestapa budak kulit hitam di Amerika Serikat, telah diakui sebagai salah satu pemicu perang Saudara di Amerika dalam rangka menghapuskan perbudakan.
Dokter Zhivago karya Boris Pasternak melukiskan hidup pelakunya yang bernama Lara yang melambangkan Ibu Rusia. Pemerintah tirai besi Uni Soviet melarang Pasternak menerima hadiah nobel, karena novel itu dianggap sebagai potret Rusia yang tidak dikehendaki oleh pemerintah komunis.
Ayat-Ayat Setan karya Salman Rusdie menimbulkan kegegeran dunia, karena dianggap penghinaan terhadap Islam, sehingga Ayatulah Khomeini menjatuhkan hukuman mati pada penulisnya yang berlindung di daratan Inggris.
Di Indonesia, Langit Makin Mendung karya Ki Panji Kusmin, menjadi perkara, sehingga HB Jassin selaku Pimpinan Redaksi majalah Horison yang memuat cerita pendek itu diajukan ke pengadilan dan dinyatakan bersalah. Sementara Iwan Simatupang, sengaja menulis drama “RT 0 – RW 0” (sekalian dipentaskan oleh para mahasiswanya), dalam rangka memberi kuliah tentang filsafat eksistensialis.
Pada 1980 saya menulis sebuah cerpen SEPI.
Sepi sudah saya bacakan di berbagai tempat: Jakarta, Denpasar, Yogya, Bandung, Leiden, New York, Columbus, Ithaca, Madison, Berlin, Tokyo, Afrika Selatan, Caribia. Kesan yang didapat oleh berbagai pendengar bermacam-macam.
Apa yang tertangkap oleh pembaca memang kadangkalam bisa melampaui dari apa yang mendorong dan ingin didapatkan ketika sastra ditulis. Artinya, sebuah karya sastra, setelah jadi dan dilepaskan kaitannya dengan penulis, menjadi sebanyak apa yang terbaca oleh pembaca.
Bahkan seorang pembaca yang membaca sebuah karya sastra berkali-kali, akan menemukan seperti karya baru karena karya itu selalu memberikan nuansa yang lain, sesuai dengan kondisi dan perasaan yang membacanya.
Boen S. Oemarjati menulis disertasi tentang sajak “Nisan” karya Chairil Anwar yang memberikan beliau gelar doktor. Padahal sajak itu amat pendek:
Bukan kematian benar menusuk kalbu
Keridlaanmu menerima segala tiba
Tak kutahu seringgi itu atas debu
dan duka maha tuan bertakhta
Sementara HB. Jassin menulis esei panjang yang mendalam terhadap sajak Sitor Situmorang yang berjudul Malam Lebaran. Padahal sajak itu hanya terdiri dari satu baris saja.
Bulan di atas kuburan.
Karya sastra dengan demikian adalah sebuah padatan atau esensi kehidupan yang disampaikan dengan “indah” oleh penulisnya untuk mempertebal rasa kemanusiaan. Membacanya, membahasnya, memerlukan ilmu bantu dari berbagai desiplin, sehingga bila disentuhkan kepada mahasiwa, sastra menjadi semacam “starter”, pemicu pada penjelajahan pemikiran yang tak terbatas ke segala arah.
Sesuatu yang sangat diperlukan oleh para mahasiswa agar tidak terjebak seperti tikus masuk perangkap di dalam ilmu yang ditekuninya.
Sastra akan mengimbangi pematangan, pemantapan serta kedewasaan kepribadian seseorang yang tidak diberikan oleh kurikulum yang hanya ingin mencetak “Manusia Indonesia Yang Cerdas Dan Kompetitif” sebagaimana yang dicanangkan oleh “Cetak Biru” pendidikan Indonesia.
Pelajar dan mahasiswa tak cukup hanya pintar dan menguasai bidang keilmuannya, tetapi juga mesti memahami kehidupan, masyarakat dan realita di mana nanti dia bekerja setelah meninggalkan bangku pendidikan. Kalau tidak, ia bisa menjadi robot yang pintar tetapi sangat berbahaya bagi kemanusiaan.
Zen seorang kandidat doktor dari Indonesia yang sedang belajar phisika murni di Universitas Kyoto (1991) memberikan pengakuan bahwa ia sangat dekat dengan sastra. Dengan sastra ia dibelajarkan untuk melakukan penjelajahan imajinasi yang tak terbatas, sehingga baginya sastra bukan semu atau khayal, tetapi konkrit. Einstein penemu teori relativitas yang juga suka main biola pun pernah berucap:
“Imagination is more important than knowledge”.
(putu wijaya)

0 komentar:

Posting Komentar

My blog is dofollow...

pengunjung yang baik adalah pengunjung yang selalu memberi apresiasi dengan meninggalkan pesan komentar...

facebook comment

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More